Visite me @ PORTAL SEO

Selasa, 17 Februari 2009

Merekapun Ikut Menangis

Sinar lembayung memendar di ufuk barat memeluk desa Motung yang terletak di dataran tinggi Toba. Warnanya kuning kemerah-merahan sehingga penduduk setempat menyebutnya sibalik hunik(1). Bersamaan dengan redupnya lembayung, Bonar, pemuda desa yang bekerja di Jakarta baru saja menginjakkan kaki di desa Motung tanah tumpah darahnya. Tentu saja kedua orang tua dan adik-adiknya menyambut baik kehadiran Bonar yang sudah lebih dari tiga tahun tidak pulang.

Namun suasana kali ini sangat jauh berbeda. Bonar biasanya membawa buah tangan seperti dodol garut kesukaan ibunya dan kue bolu kesenangan adiknya. Tapi malam itu Bonar pulang hampa tangan. Bonar kebanyakan diam dan hanya menjawab pertanyaan apa adanya sehingga mereka tidak berani bertanya lebih jauh. Usai makan malam Bonar segera meninggalkan ibu bapak dan adik-adiknya menuju kamar. Mereka sekeluarga saling pandang seolah-olah ingin tahu kenapa Bonar berubah sikap 180 derajat?

Tak lama kemudian lamat-lamat terdengar suara isak tangis dari kamar Bonar. Ibu bapaknya saling berpandangan melihat kelakuan Bonar yang aneh. Mendengar suara tangis itu naluri seorang ibu tergerak untuk mengetahui kejadian yang menimpa anaknya. Dengan langkah gontai ibu Bonar menuju kamar dan terkejut menyaksikan Bonar sedang menangis tersedu-sedu.

”Amang” (2) Bonar, kenapa kau menangis, sakit ya? Apa yang kau rasakan?” sapa ibunya sambil mengelus-elus kepala Bonar. Mulutnya terkatup tak kuasa menjawab.

Amani(3) Bonar yang sedari tadi menunggu jawaban dari istrinya yang tak kunjung keluar dari kamar mulai gelisah lalu bangkit menemui Bonar.

”Bonar, ada masalah apa dengan kau dan kenapa menangis terus? Ayo jawab!” kata bapaknya mulai berang melihat kelakuan Bonar. Karena tidak ada jawaban bapaknya mulai marah. Begitu pertanyaan kedua diajukan dan tidak memperoleh jawaban, tangan kanan bapak mendarat di pipi kiri Bonar. Ibu Bonar segera memeluk melindungi anaknya dari pukulan berikutnya. Amani Bonar memang keras mendidik anak. Hal itu dipengaruhi oleh kehidupannya sebagai petani miskin yang harus kerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah. Bahkan sejak SD Bonar sebagai anak sulung sudah mendapat tambahan pekerjaan. Sebelum matahari terbit manakala teman sebayanya masih tidur pulas Bonar sudah bangun dan disuruh menggiring kerbau ke sawah. Setelah itu baru berangkat sekolah. Bonar selalu menurut.

Berbeda dengan malam itu. Walaupun sudah mendapat tamparan yang meninggalkan bekas di pipinya, tangisnya tiada henti dan tetap tidak mau menjawab.

”Ayo tolong percikkan air dengan bulung rata(4) ke mukanya, siapa tau ada setan yang merasuk ke tubuhnya”, kata namboru-nya( 5). Beberapa kali air dipercikkan seraya memohon agar setan yang mengganggu enyah dari pikiran Bonar. Sayang percikan air itu ternyata tidak membuahkan hasil.

Melihat keadaan itu salah seorang tetua kampung mengusulkan supaya diadakan doa khusus kepada para nenek moyang dengan menabuh gendang dan memanggil datu(6) yang dapat menghentikan tangisnya. Gendang pun ditabuh dan datu mulai menari dan membacakan mantera seraya memohon ke arwah nenek moyang agar tangis Bonar dihentikan.

Sementara itu Amani Bonar mulai naik darah. Setelah berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan tangisnya tetap tidak berhasil maka ia berdiri sambil menghardik, ”Hai Bonar, percuma kau kusekolahkan ke Jawa kalau pulang membawa malu. Seorang laki-laki menangis berjam-jam seperti ini adalah orang gila. Buat apa kau sekolah tinggi kalau pulang membawa aib?” Para tetangga berusaha menahan emosi Amani Bonar yang sudah siap menendang kepala Bonar.

Kemarahan Amani Bonar dapat diterima karena Bonar adalah anak yang dibanggakan. Bonar adalah pemuda desa yang berhasil meraih gelar sarjana pertanian di salah satu perguruan tinggi terkemuka di pulau Jawa. Prestasi Bonar di sekolah memang cukup bagus sehingga masuk ke universitas melalui jalur PMDK. Amani Bonar berharap kalau sudah lulus dapat menjadi pegawai negeri dengan harapan kelak hidupnya menjadi lebih baik dan punya masa depan. Tidak seperti dirinya yang bergelimang lumpur setiap hari. Begitu lulus dan mendapat predikat Cum Laude Bonar mendapat tawaran bekerja di perkebunan milik pemerintah. Tentu saja orang tua Bonar bersuka-ria. Jerih payahnya terbayar saat Bonar mengabarkan dirinya diterima jadi pegawai negeri.

Kendati sudah tujuh tahun Bonar bekerja, tapi belum kelihatan ada perubahan yang mencolok dari kehidupannya. Tidak seperti anak tetangga desanya yang baru 3 tahun bekerja sudah bisa pulang sudah mengendarai mobil kijang. Ransel gendong tetap melekat di punggungnya tatkala pergi dan pulang kampung. Tapi Bonar tetap menikmati keadaannya. Tidak terusik dengan gelombang konsumerisme yang melanda generasi muda negeri ini.

Gertakan bapaknya yang demikian keras semakin menyesakkan dada Bonar. Sungguh berat rasanya mengungkapkan secara langsung kepada orang tuanya yang sudah bersusah payah menyekolahkannya hingga sarjana. Hatinya tidak tega melihat perjuangan kedua orang tuanya harus makan ubi untuk mengirit biaya agar Bonar bisa kuliah.

Menjelang subuh, ayam berkokok bersahut-sahutan. Seorang ibu menyeruak di antara penduduk desa yang memenuhi halaman rumah Bonar. Dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah Bonar dan menanyakan kejadian apa yang menimpa Bonar. Setelah mendengar penjelasan singkat, ibu tersebut mendekati Bonar sambil berbisik.
”Bonar, hasian(7) naburju(8), aku ibu gurumu dulu waktu SD. Coba lihat wajahku ”, katanya memberi keyakinan. ”Aku ibu guru Silaban, ingat kan? Wah, kau dulu anak cerdas, pintar dan berani. Waktu aku mengajarkan pepatah ketika pelajaran bahasa Indonesia ’berani karena benar takut karena salah’ kau bertanya tentang makna pepatah itu dan kau puas mendapat penjelasan”, lanjutnya merayu seraya menghapus air mata yang mengalir di pipi Bonar. Semua yang hadir menyaksikan adegan itu tampak terkesima. Hening. Di luar terdengar desir angin semilir meniup pohon-pohon bambu yang bergesekan dan cicit burung yang akan keluar dari sarangnya di sela kokok ayam.

”Bonar, sayang, sejak kecil kau kukenal sebagai pribadi yang tangguh. Berjalan kaki ke sekolah di kota kecamatan walau berjarak 7 km, kau tidak pernah mengeluh.

Apalagi menangis. Kau dan teman-temanmu selalu bergembira sambil bernyanyi di tengah jalan menghilangkan penat. Masih ingat kau lagunya: ’Sorak Sorak Bergembira. Bonar, hasian, ceritalah sama aku, ibu guru, seperti dulu kau pernah curhat ketika ingin sekolah ke pulau Jawa, tapi bapakmu tidak setuju dengan alasan biaya. Akhirnya ibu guru meyakinkan bapakmu walau terpaksa menjual kerbau kesayanganmu untuk biaya sekolah. Kau sedih waktu bapakmu menggiring kerbau Silepe Tanduk(9) ke pasar Tigaraja. Ayo sayang, mungkin ibu guru bisa bantu”, sembari memeluk Bonar.

Mendengar bujukan itu isak tangis Bonar mulai mereda dan matanya yang tadinya hampa tampak bersinar. Melihat perubahan itu, lalu sang ibu guru mengajak Bonar ke suatu ruangan yang kosong dan membujuk Bonar agar mau bercerita. Kedua orang tua Bonar dan penduduk yang menyaksikan adegan itu tertegun atas keberhasilan mantan ibu guru yang dapat menghentikan isak tangis Bonar.

”Aku tak mau mengecewakan orang tua. Tolong bantu aku ibu guru”, pintanya memohon dengan hormat, lalu Bonar bercerita :

”Begitu lulus dari perguruan tinggi aku diterima menjadi pegawai perkebunan dan ditempatkan di bagian administrasi. Setelah itu dipindahkan ke bagian penelitian dan akhirnya aku ditugaskan sebagai pengawas lapangan.

Sekali waktu aku memeriksa pupuk jenis NPK yang akan disebar di perkebunan kelapa sawit. Aku terkejut karena sepertinya ada yang aneh. Lalu aku berdiskusi dengan para buruh penyebar pupuk. Karena curiga atas mutu pupuk tersebut, maka diam-diam aku membawa ke laboratorium dan memeriksanya. Terus terang aku kaget karena ternyata pupuk itu palsu.

Hasil investigasi itu segera aku laporkan ke atasan. Namun ditanggapi dingin. Jelang beberapa hari aku dipanggil oleh atasanku dan mengatakan agar tidak memperpanjang persoalan itu sambil menyerahkan sebuah amplop berisi segepok uang ratusan ribu rupiah. Dengan santun aku menolak ajakan kerja sama itu dan mengatakan akan mengusut tuntas perbuatan itu karena akan merugikan perusahaan. Mendengar tantangan itu, atasanku malah balik menghardik bahwa dia tidak takut. ’Silakan! Jangan membuat ulah di kantor ini karena pengadaan pupuk melalui proses pemeriksaan yang ketat,’ katanya sambil menggebrak meja. Hatiku geram melihat sikapnya yang angkuh dan membayangkan betapa hancurnya perusahaan kalau kejadian itu dibiarkan.

Tiga hari kemudian aku dipanggil oleh pemeriksa dari bagian pengawasan di kantor pusat dengan tuduhan membuat laporan palsu atas kejadian penemuan pupuk palsu. Setelah diperiksa berkali-kali akhirnya aku dinyatakan bersalah dan diberi dua pilihan, pertama dilaporkan ke kepolisian karena membuat laporan palsu atau membuat pernyataan mengundurkan diri dari perusahaan. Aku mencoba membela diri dan menyerahkan hasil pemeriksaan laboratorium. Tapi tidak digubris. Aku dianggap sumber bencana, padahal aku ingin hasil perkebunan meningkat dengan menggunakan pupuk yang asli. Ketika aku meminta dukungan dari para buruh penyebar pupuk, mereka tidak sudi memberi kesaksian, takut dipecat. Aku dituduh ’si pembuat onar’ dan yang paling menyakitkan dicap membuat sensasi untuk mencari jabatan. Setelah berpikir dalam-dalam akhirnya aku mengambil keputusan keluar dari perusahaan”, tutur Bonar sambil memeluk mantan gurunya.

Sang mantan ibu guru tertegun mendengar penuturan Bonar yang lugu dan lugas. Darahnya mendidih sambil berteriak, ”Tidak nak, kau tidak salah. Aku kagum. Kau berhasil keluar dari lingkungan setan korupsi yang merasuk bangsa dan negara kita. Aku terharu karena anak didikku berani mengatakan kebenaran walaupun harus menanggung risiko. Biar aku yang menjelaskan kepada orang tuamu dan seluruh penduduk desa. Hapuslah air matamu, nak!” kata mantan ibu guru.

Matahari menyembul dari ufuk timur tatkala mantan ibu guru Bonar tampil di depan seluruh penduduk desa. Bagai orator yang tampil di pilkada dengan lantang, ibu guru itu menyuarakan isi hati Bonar dan memberi pendapat bahwa Bonar berjalan dalam jalur yang benar. Persoalannya, Bonar takut dipersalahkan dan mengecewakan orang tuanya hingga ditumpahkan melalui air mata. Ia memohon dengan hormat, ”Bonar jangan dimarahi.”

Mendengar penjelasan tersebut, Amani Bonar bangkit berdiri dan memeluk anaknya sambil berkata, ”Bonar, aku mengerti kenapa kaumenangis tak henti-henti. Bagus nak, sebuah tindakan yang mulia. Bapak tidak kecewa. Bapak gembira kau lepas dari lilitan jaringan korupsi sebagaimana sering di tayangkan TV. Menjijikkan. Aku menyambut kedatanganmu kembali ke desa kita. Mari kita bangun desa ini. Terapkan ilmu pengetahuan yang kau peroleh dari perguruan tinggi. Bangunlah desa ini agar terhindar dari peta kemiskinan.

Penduduk desa yang sejak semalam bergadang bersorak-sorai dan berteriak gembira. ”Hidup Bonar...! Hidup Ibu Guru...!” Tetua di desa itu pun menyambut baik sikap Bonar dan meminta para penabuh gendang menyanyikan sebuah lagu magis yang sudah jarang diperdengarkan, gondang malim(10) Irama itu biasanya ditabuh untuk mengusir roh jahat. Serentak penduduk desa menari mengikuti suara gendang ditimpali suara serunai yang melengking. Bonar terharu sambil berpelukan dengan kedua orang tua dan mantan ibu gurunya. Tak terasa air mata meleleh ke pipinya dan mereka pun ikut menangis. ***

Batam, Juni 2008

Kosakata
1. Sibalik Hunik: Sinar matahari terbenam
2. Amang: Panggilan sayang kepada anak
3. Amani: Bapak
4. Bulung rata: Daun beringin dan rantingya
5. Namboru: Bibi
6. Datu: Dukun
7. Hasian: Sayang
8. Naburju: Yang baik
9. Silepe Tanduk: Panggilan kepada kerbau yang tanduknya melingkar ke bawah
10. Gondang Malim: Irama magis yang dapat memanggil arwah nenek moyang untuk mengusir roh.

Sumber: Sinar Harapan
Karya Godman Ambarita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar