Visite me @ PORTAL SEO

Kamis, 13 Mei 2010

Indonesia Bisa Menjadi Negara Adidaya? Kenapa Tidak?!!

Apakah ciri negara maju? Ya, mereka tidak memiliki masalah penduduk kelaparan sebesar negara berkembang. Mereka memiliki ketahanan pangan yang jauh sangat luar biasa, sehingga kebutuhan gizi mereka terpenuhi, kesehatan mereka tinggi, pendidikan dan lain-lain memiliki kualitas yang hebat. Mereka bisa memberikan makan rakyatnya dengan cara apapun, meskipun lahan pertanian dan sumberdaya alam mereka tidak cukup banyak dan luas (misal Jepang, Swiss, Inggris dan lain-lain). Ya, mereka memiliki ketahanan pangan yang tinggi.

Ketahanan pangan merupakan masalah yang selalu sulit untuk diselesaikan. Kehidupan masyarakat yang sejahtera dapat dilihat dari seberapa mampukah masyarakat memenuhi kebutuhan pangannya. Terlalu sering kita mendengar perkataan pemimpin kita, Ir. Soekarno, bahwa hidup matinya suatu bangsa ditentukan oleh pertanian, dalam hal ini pertanian merupakan sumber pangan dalam arti luas (terestrial and marine agriculuture) seperti peternakan, perikanan, pertanian hortikultura dan bentuk pertanian lain. Oleh karena itulah, “pertanian” acap kali disebut sebagai salah satu kunci dari tingkat kesejahteraan masyarakat suatu bangsa.

gambar Petani kita mayoritas masih miskin:


Lalu mengapa saat ini rakyat Indonesia, sebagian besar rakyatnya, tidak dapat digolongkan dalam kasta rakyat yang sejahtera? Pertanyaan tersebut memiliki jawaban yang berakhir pada konklusi bahwa ketahanan pangan di negara kita belum tercapai. Akibat dari ketidakmampuan negara ini untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yang kuat adalah kondisi rakyat yang tidak sejahtera, kondisi rakyat yang kurang gizi, sehingga berdampak sistemik pada kemajuan tingkat pendidikan maupun prestasi dalam bidang apapun. Bila dianalogikan “ketahanan pangan yang kurang” merupakan sebuah pohon masalah, maka cabang-cabang ranting pohon tersebut merupakan masalah-masalah yang lahir dari induk ketahanan pangan, contohnya kenaikan harga pangan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Gambar Orang miskin masih mayoritas:


Hal yang paling mendasari masalah ketahanan pangan adalah ketidak sinergisan antara jumlah SDM yang ahli di bidang pangan yang peduli akan pertanian bangsa dengan jumlah SDA yang melimpah. Perlu kita ketahui bersama, jumlah sumber daya alam yang ada di negara ini tidak perlu diragukan lagi jumlahnya. Bahkan ketika salah satu ilmuwan dunia mengatakan bahwa tidak perlu mencari negeri Atlantis di Samudera Atlantik, tapi Antlantis itu ada di Indonesia, itu bisa saja benar. Karena Indonesia lah yang merupakan negeri Atlantis itu sendiri. Bayangkan, jika negeri Timur Tengah hanya memiliki minyak, jika Australia hanya mempunyai kebun-kebunan, maka Indonesia memiliki semua itu, apel, coklat, minyak ,air, ikan, susu, daging sapi, tembaga, emas dan sebagainya.
Pernahkah kita melihat dan menyadari, embargo dari negara adidaya tidak pernah dilakukan pada negeri kita ini? Coba bayangkan seandainya kita diembargo! Kita tak perlu takut terjadi kelangkaan pangan, semua sumber daya alam yang kita punya lengkap! Menilik dari sebuah artikel yang pernah saya baca, seandainya kita diembargo, maka kita akan hidup mandiri, kita akan mengolah semua SDA yang kita miliki dengan tenaga kita sendiri dan kita akan menjadi negara superpower baru! Tapi karena jalan untuk negara asing mengolah sumber daya alam yang kita miliki masih terbuka lebar hingga hari ini, maka hingga hari ini kita masih bisa melihat sumber-sumber daya alam kita diolah (baca: dirampok) oleh negara lain.

Gambar Batubara kita masih menggunung:


Lalu mengapa semua sumber daya yang kita miliki malah diolah oleh negara lain?
contoh:
Negara Swiss adalah negara yang luasnya tidak lebih dari pulau Jawa, namun produksi cokelat olahan dari Swiss merajai dunia saat ini. Darimana mereka mendapatkan bahan mentah cokelat tersebut? Apakah ditanam di negaranya sendiri yang tidak lebih dari pulau Jawa? Tidak. Cokelat mereka berasal dari negara penghasil cokelat misalnya Indonesia. Prancis memiliki panjang pantai yang pendek. Jika diibaratkan panjang pantai Indonesia adalah 20 jari tangan dan kaki kita, maka pantai Prancis tidak lebih dari satu ruas jari kelingking. Namun produksi alginat (dari rumput laut) mereka terkenal di dunia. Darimanakah mereka mendapatkan rumput laut tersebut? Jawabannya adalah Indonesia. Suatu hari seorang petani menemukan bahwa pasir dasar sungai di daerah Kalimantan mengandung glitter emas ketika pasir tersebut disinari oleh matahari. Petani tersebut menjual pasir tersebut kepada pabrik asal China dengan harga 3000/kilo. Dengan sedikit pengolahan, pabrik China itu menjual kembali seharga 30ribu/kilo. Hebat bukan? Satu lagi contoh ekstrim, kerang mutiara (Pinctada sp.) banyak ditemui di laut Indonesia. Dengan sedikit pembudidayaan, banyak hasil panen mutiara tersebut tidak berbentuk mutiara halus, melainkan kasar. Ketika bakal mutiara tersebut diekspor ke Jepang dengan harga sekiitar 300rb/kilo, Jepang menghaluskan kembali dengan teknik khusus, jadilah mutiara perhiasan yang dapat kita lihat di toko perhiasan saat ini dengan harga puluhan juta.
Itu sedikit contoh dari ketidakmampuan kita mengatasi dan mengolah sumber daya yang kita miliki. Istilah sarkastiknya, kita memiliki segalanya, mulai dari apel, coklat, minyak , air, rumput laut, ikan, susu, daging sapi, tembaga, emas dan sebagainya, namun hanya satu yang tidak kita miliki: otak.
Hingga hari ini, negara ini masih saja sibuk dengan kebanggaannya mengekspor bahan-bahan nomor satu di dunia, misalnya cokelat, kopi, sawit, timah, ikan dll. Itu semua bahan mentah! Industri kita selalu jalan di tempat, sederhana, hanya terbatas pada bahan mentah saja, dan kita bangga akan itu!

Gambar Mangga manalagi dan jeruk medan, andalan Indonesia tapi masih kalah sama jeruk Impor:


Tidak banyak dari masyarakat kita yang tahu bagaimana mengolah rumput laut menjadi alginat.
Tidak banyak rakyat kita yang mengerti cara membuat mutiara menjadi halus.
Tidak seberapa jumlah petani cokelat yang mengerti cara membuat cokelat berkualitas tinggi siap makan, dan sebagainya.
Bahkan yang sudah tahu pun (mahasiswa) belum tentu mau melakukan semua itu, padahal lahan untuk mengolah semua itu sangat banyak sekali.

Gambar Rumput laut jenis Eucheuma cottonii, terbanyak di Indonesia, penghasil karaginan:


Lalu apa kesimpulan permasalahan tersebut?
Pendidikan.
Ya Pendidikan tentang pertanian.
Siapa lagi yang akan mengolah semua lahan sumber daya kita kalau bukan kita sendiri?
Dan percayakah teman, peminat bidang pendidikan pertanian baik di tingkat Universitas maupun sekolahan turun, pendidikan pertanian menempati urutan nomor satu ironi tentang dunia pendidikan. Ini ironi, sungguh sangat ironi. Dimana saat kita membutuhkan banyak SDM berkualitas di bidang pertanian, printer untuk mencetak orang-orang tesebut malah mati, berkurang, dan tidak kita perbaiki. Calon-calon mahasiswa lebih memilih untuk tidak berkuliah di jurusan pertanian, sehingga mengakibatkan beberapa jurusan pertanian di perguruan tinggi banyak yang ditutup. Akibatnya? Kini orang-orang yang ahli di bidang pertanian dari negara kita hanya sedikit sekali! Pertanian kita dikuasai oleh SDM ahli pertanian dari negara lain, yang notabenenya bukan negara kita. Kemanakah semua keuntungan yang diambil dari pengolahan lahan pertanian negara kita?? Tentu saja ke negara mereka! Siapakah yang salah? “Kita”? Atau “mereka”?

Gambar Mahasiswa berdemo:


Seandainya saja pemerintah memberikan perhatian khusus pada bidang pertanian ini,

Seandainya masyarakat sadar bahwa potensi pertanian negara ini sangatlah besar,

Seandainya mereka tahu bahwa negara ini membutuhkan SDM yang mencintai negara ini,

sumber daya manusia yang terdidik di bidang pertanian…





Dan kalau saja ketahanan pangan negara kita ini telah tercapai, maka adalah hal yang sangat mutlak bahwa Indonesia akan menjadi the next Super Power Country…
Negeri ini negeri Agraris, Kawan!

Negeri ini negeri yang Kaya!

Hidup INDONESIA!

Cintai Produk dalam negeri, INDONESIA!






*sumber kaskus.us